Sia-Sia
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Sendiri
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamar nya
Yang minta perempuan untuk kawannya
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Aku
Kalau sampai waktuku’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Dari kumpulannya terbuang
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlariBerlari
Hingga hilang pedih peri
Taman
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ’nusia
Penerimaan
Dengan sepenuh hati
Bak kembang sari sudah terbagi
Untukku sendiri tapi
Kesabaran
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Dan hidup bukan hidup lagi
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Kenangan
Diantara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
Hampa
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Kawanku dan Aku
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mngelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Hilang tenggelam segala makna
Dan bergerak tak punya arti.
Selamat Tinggal
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
— dalam hatiku? —
Apa hanya angin lalu?
Menggelepar tengah malam buta
Segala tak kukenal
Doa
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
mengingat Kau penuh seluruh
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
aku hilang bentuk
remuk
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Pemberian Tahu
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
Derai-Derai Cemara
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar